Oleh: Dini Novita Sari
Pemerhati masalah sosial dan ekonomi keuangan
Seorang akuntan muncul di tahun 2019 akhir bagai pahlawan dengan mengesankan dia sudah punya data kekacauan keuangan di PT Jiwasraya sejak tahun 2008. Dalam hati saya bertanya, ini akuntan atau politisi?
Akuntan sejatinya memberitahu publik sebelum kejadian, bukan setelah kasusnya terang benderang saat penyidik bekerja. Beda dengan politisi, bukan?
Sejak kasus Enron merebak pada tahun 2001 dan KAP top 5 Arthur Andersen LLP dicabut ijin prakteknya, tampaknya para akuntan Indonesia tidak belajar banyak. Ada apa?
Andersen yang menjadi andalan lapangan kerja akuntan top Indonesia dan pernah dikenal sebagai satu dari the “Big Five” accounting firms, (bersama-sama dengan PricewaterhouseCoopers, Deloitte Touche Tohmatsu, Ernst & Young, dan KPMG) dalam 20 tahun terakhir ini telah gagal mendeteksi fraud. Bahkan ikut membiarkan prilaku buruk penjahat kerah putih menggoreng saham yang harusnya bisa dideteksi secara dini sehingga publik tidak diberi signal yang salah dalam melakukan investasi.
*Tarip Mahal, Omong Governance Tapi Gagal Menjaga Kepercayaan *
Saya benar-benar khawatir akan semakin sulit bagi Indonesia mencari akuntan yang bisa dipercaya untuk mengawal perekonomian dari bencana krisis keuangan ke 2 yang berpotensi sistemik.
Bukannya introspeksi dan memperbaiki tata kelola serta memperbaiki sistem akutansi Indonesia, para akuntan senior ternyata malah keasikan menikmati tarif tinggi yang bisa dibayar oleh para emiten dan birokrat nakal.
Bila dulu kita cukup membayar satu dua miliar rupiah, kini jasa kerja mereka untuk jasa audit laporan keuangan berkisar antara Rp 20-90 miliar rupiah untuk 3 bulan kerja dengan hanya 10-20 orang yang terlibat. Bisa dibayangkan bagaimana mereka bisa mendeteksi fraud dalam waktu singkat dengan orang sedikit?
Kasus Jiwasraya adalah contohnya. Bertahun-tahun Kantor Akuntan Publik (KAP) berikut ini menyembunyikan borok Jiwasraya.
Mulai dari KAP Soejatna, Mulyana dan Rekan (2006), KAP Hertanto, Sidik dan Rekan (2013), KAP Djoko, Sidik & Indra yang menggarap audit Jiwasraya 2015, dan KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan yang mengerjakan audit Jiwasraya 2016, dan 2017.
Semuanya adalah akuntan lulusan perguruan tinggi terkenal dan memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian pada Jiwasraya dan semua mencatat perusahaan meraih untung bersih dan naik secara periodik. Artinya, mereka telah memberitahu publik bahwa perusahaan dalam keadaan sehat.
Mereka berkilah tarip mahal terpaksa diterapkan karena nasib mereka dalam ancaman denda besar dan pencabutan ijin oleh OJK dan Kementrian Keuangan kalau sewaktu-waktu melakukan kesalahan.
Sementara dalam kesibukannya, lembaga pembina seperti IAI atau IAPI lebih banyak membuat program pelatihan bagi para akuntan dosen lewat kursus-kursus etika, risk management atau metode perpanjangan ijin ketimbang memperbaiki metode dan memperbaharui per-akutansian yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman.
Ini semua disebabkan sejak pemerintah mewajibkan Audit perusahaan-perusahaan besar pada KAP The Big Four, dan para akuntan senior yang rata-rata lulusan PTN hebat hanya kebagian remah-remah pada perusahaan lokal. Gengsi profesi yang dulu sangat dihormati pun luntur. Pengangguran mulai dirasakan belakangan setelah para akuntan beralih menjadi ahli finance.
Mereka yang tergusur oleh The Big Four dan ditugaskan menjaga garda ilmu dan etika malah belakangan terlihat beralih jadi konsulen pajak karena di sana banyak investor tambang dan perkebunan yang bermasalah. Jangan heran, ini negri penghasil timah, karet, batubara, nikel, tembaga dan sawit terbesar dunia namun pendapatan pajak Kemenkeu tahun ini tekor 30% dari target. Keahlian mereka di sana, tampaknya pun tak digunakan dengan baik.
Seorang teman akuntan bahkan dengan bangga pernah mengakui membantu perusahaan-perusahaan kakap itu mengurangi pembayaran pajaknya, sementara pembicaraannya di publik selalu soal etika dan governance. Di sini kita perlu menuntut para akuntan Junior mekakukan terobosan memperbaiki ulah kotor para senior yang sudah terkontaminasi.
*Di Luar Profesi Auditor, Sama Saja*
Tentu saja akuntan tak hanya ada di KAP. Dalam kasus Jiwasraya mereka ada di OJK, BPK, BPKP, BEI dan ada di Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan (Kemkeu). Mayoritas adalah lulusan STAN, UI dan UGM.
Bagangkan bagaimana kasus “cornering” saham yang dilakukan para pemilik media yang berkepentingan bersama para penggoreng saham kini dibiarkan berlangsung bertahun-tahun oleh para oknum akuntan di BEI dan OJK.
Dan kalau sudah heboh, paling-paling Kemenkeu ikut menghukum dengan kacamata jadulnya dan salah sasaran. Yang kerja benar dihukum, yang menggoreng dibiarkan berlalu.
Lalu pemilik modal memutarbalikkan kebenaran dengan menyebarluaskan berita negatif pada sasaran yang dituju dengan tema-tema infotainment yang cepat beredar dan mematikan.
Di dalam PT Asuransi Jiwasraya juga ada komite audit dan komite manajemen Resiko yang juga rata-rata diisi oleh para akuntan. Jangan kaget, mereka bergaji antara 25-75 juta rupiah perbulan dengan hanya bekerja seminggu sekali. Dimana moralitas dan kecanggihan ilmu mereka kalau kasus ini baru terungkap bertahun-tahun kemudian?
Harap diingat sebelum Jiwasraya, masih ada kasus fraud di Asuransi Bumiputera yang belum beres sampai hari ini. Dan bisa jadi ada Asabri dan banyak Dapen (Yayasan-yayasan Dana Pensiun) yang diduga punya masalah serupa, dengan fraud yang sama besarnya pada sisi investasi.
Modusnya semua sama, bermain saham dengan berkolusi pada emiten yang sahamnya sulit diperdagangkan.
Akhirnya selalu muncul satu dua akuntan yang menjadi pahlawan kesiangan. Dengan sok tahu seakan-akan menemukan fraudnya. Saya perlu ingatkan pada akuntan-akuntan bodoh itu. Stop mencari panggung!
Akuntan itu tugasnya mengirim signal sebelum kejadian. Kalau memberi analisa jauh setelah kejadian itu namanya politisi.
Jangankan orang itu, laporan audited keuangan PT Jiwasraya tahun buku 2018 saja sampai hari ini (5 Januari 2020) belum keluar. Jadi kalau ybs menggunakan data antara 2014-2017 pada hari ini untuk nenyalah-nyalahkan investor, maka motifnya patut dipertanyakan.
Ia hanya memperkeruh suasana alias ikut membelokkan pelakunya.
Tugas akuntan itu memberitahu publik sebelum kejadian. Kalau sudah kejadian, baru sekarang memberikan analisis, itu sama juga dengan akhlak politisi. Jangan mengeruhkan suasana seakan-akan kita semua sudah tahu sejak lama.
Bohong itu. Kalau tidak, mana mungkin puluhan bankir asing dan bankir domestik menaruh uang mereka sampai trilyunan rupiah di perusahaan yang melakukan fraud (Jiwasraya) itu?
Dalam suasana itu, saya perhatikan satu dua akuntan senior juga lebih bersikap defensif dan menyalahkan pihak lain. Ini tentu bukan sikap yang kita harapkan. Alih-alih menyalahkan oranglain, lebih baik introspeksi dan buat langkah-langkah pembinaan profesi dan perbaiki mutu akuntan Indonesia.
Ingat, jauh sebelum kasus ini merebak, pada bulan Februari 2018, seorang pejabat senior OJK yang juga seorang akuntan, telah menyerahkan 5 buah penghargaan untuk produk Unit Link Terbaik dalam 5 kategori pada PT Asuransi Jiwasraya. Dan kini OJK dan para akuntan pun lepas tangan. Ada apa?. (*)